Oleh Ngurah Wisnu Wardhana
‘’Buruh
Pariwisata’’, semua orang akan berfikir tentang dolar dan kehidupan
yang layak (mapan) pada saat mendengar dua kata tersebut. Namun pasca
Tragedi Bom Kuta hal tersebut seperti hanya tinggal kenangan, seluruh
insan pariwisata (terutama buruh) terpuruk. Harapan melunasi cicilan
motor sirna sudah, tidak di PHK saja sudah syukur.
Ya, keberatan atau tidak Tragedi tersebut kita bisa jadikan cermin untuk bicara buruh pariwisata khususnya.
Hingga
kini pasca Tragedi Kuta, persoalan Hubungan Industrial di sector
pariwisata masih dalam kondisi yang belum menguntungkan bagi buruh dan
pengusaha di Bali. Imbas dari dampak bom masih terasa, belum pulihnya
pariwisata masih memberikan kekhawatiran terhadap keberlangsungan
kehidupan bagi buruh yang menyandarkan pada skill dan tenaganya hanya
untuk bekerja di sektor pariwisata. PHK massal masih menghantui para
pekerja jika kondisi ini belum pulih. Seiring dengan tidak mampunya
pengusaha untuk menanggung biaya operasional yang sangat tinggi maka
bukan tidak mungkin PHK individual atau kolektif akan terjadi dalam
hitungan waktu yang lambat atau cepat kedepan.
Membicarakan
masalah buruh pariwisata (sector pariwisata) juga tidak bisa kita
pisahkan dengan pembicaraan dengan masalah di sector lainnya. Dimana
pariwisata sangat rentan terhadap isu dan kondisi yang sangat sensitive
baik secara lokal, regional dan global. Bencana alam, wabah penyakit
(kolera, sars), aksi/ isu terorisrisme, dan perang (pemilu juga)
adalah keadaan buruk yang sewaktu-waktu dapat menimpa industri
pariwisata. Dan kita telah mengalaminya dari beberapa hal tersebut.
Belum
lagi mengenai kebijakan pemerintah yang memberikan aura negative bagi
sector pariwisata diantaranya VoA (Visa on Arrival), dengan tambahan
biaya dan tekhnis mekanisme birokratis (peluang pungli) tersebut jelas
mengurangi mood turis untuk datang ke negara kita dalam kondisi
sekarang.
Disahkannya
UU PPHI (Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial) juga sangat merugikan buruh termasuk
buruh pariwisata. Dimana isi dari UU tersebut secara mendasar
mengabaikan kepentingan buruh terhadap keberadaannya di suatu
pekerjaannya, yaitu rentan PHK karena PHK menjadi wewenang mutlak
pengusaha, dalam UU ini Negara melepaskan tanggung jawabnya untuk
melindungi buruh/ pekerja serta lepas tangan terhadap pelanggaran
hak-hak normative buruh dan serikat buruh yang dilakukan pengusaha,
karena pelanggaran hak normative dalam UU ini dapat diperselisihkan,
padahal seharusnya pengusaha yang melanggar hak normatif buruh/ pekerja
diberi sanksi (denda dan atau penjara), tanpa harus menuntut melalui
lembaga peradilan yang menjadi sentra penyelesaian perselisihan dalam
UU tersebut.
Masalah
perburuhan di Indonesia merupakan masalah yang sangat pelik. Ini
sudah menjadi semacam benang kusut yang jika diurai satu persatu akan
terlihat banyak faktor yang ada di dalamnya.
Disamping
itu lapangan kerja yang sempit dengan angkatan kerja yang jumlahnya
besar mengakibatkan posisi tawar buruh sangat lemah. Hal ini ditambah
lagi dengan kualitas SDM (pendidikan dan skill) yang secara umum sangat
terbatas. Mengakibatkan buruh menjadi semakin terpojok. Hukum
perburuhan yang seharusnya mengatur hubungan industrial masih sangat
lemah. Proses penegakan hukum perburuhan yang selama ini diharapkan
untuk menjamin adanya kepastian hukum belum terlaksana dengan baik.
Kalaupun ada pemberian sanksi bagi tindak pidana pelanggaran hukum
perburuhan, itu pun sangat ringan. Selain itu kolusi antara pengusaha
dengan penguasa sudah bukan menjadi rahasia lagi dan semakin
memperparah kondisi perburuhan. Institusi negara yang membidangi
masalah perburuhan seakan tidak berdaya menghadapi kondisi ini.
Globalisasi
sudah di halaman rumah kita, dengan kondisi semacam ini mampukah
tenaga kerja lokal bersaing dengan tenaga kerja asing, karena bukan
hanya modal/ investor saja yang datang tapi juga tenaga kerja asing di
berbagai sector.
Harapan kita semua adalah hubungan industrial harmonis maka beberapa hal pokok yang harus terpenuhi yaitu ;
- Pekerja itu harus merasa nyaman, dan pekerja akan nyaman serta termotivasi kalau gaji cukup dan merasa terlindungi dalam bekerja dan pekerjaannya
- Pengusaha menuntut produktivitas dari pekerja, pengusaha itu harus juga merasa nyaman kalau untung besar yang akan digunakan untuk membuka lapangan kerja baru kemudian perlu mencetak tenaga kerja baru atau paling tidak, tidak ada pengurangan pegawai
- Pemerintah juga akan merasa senang karena akan mendapatkan pemasukan besar dari pajak
- Masyarakat juga akan puas kalau pembangunan jalan.
Kalau hal ini terwujud maka disini akan tercipta hubungan industrial yang harmonis.
Tulisan
ini dibacakan dalam acara SEMINAR dalam rangka BK XIX PS. Pariwisata,
tanggal 29 April 2004 di Kampus Goris Pariwisata Universitas Udayana
0 komentar:
Posting Komentar