JL. Plawa No. 57 Denpasar, Telp. (0361) 223010, Fax. (0361) 227465 Email: lbhbali@indo.net.id

Oleh: Luh Putu Anggreni, SH
 
“BALI merupakan surga kaum paedofilia”, mungkin akan terus ada pandangan seperti itu kalau saja kasus yang menimpa dua anak pelajar SMP Karangasem korban paedofilia tidak benar-benar mendapat penanganan serius oleh para aparat penegak hukum maupun jajaran pemerintah daerah/pusat. Apalagi berkaca dari pengalaman kasus paedofilia di Buleleng dimana pelaku paedofilia Mario berkebangsaan Italia yang telah mencabuli lima anak laki-laki dibawah usia 13 tahun hanya mendapat ganjaran hukuman 10 bulan. Bahkan, saat di penjara tetap memperoleh prioritas seperti dengan mudahnya keluar masuk penjara dan bermain internet diluar penjara.

Tidak terpikirkan oleh aparat penegak hukum kita apa dampak yang terjadi pada anak-anak yang menjadi korban paedofilia tersebut. Sebab, penyembuhan trauma yang mendalam pada jiwa seorang anak yang polos tentu tidaklah semudah menyembuhkan luka fisik/luka badan. Jelasnya, peran seorang psikiater sangat diperlukan saat menghadapi masa-masa sulit untuk dapat dengan cepat melupakan trauma tersebut. Bahkan, kesaksian dari seorang ahli/psikiater sangat dibutuhkan dalam sidang pengadilan agar diketahui oleh public betapa berat penderitaan seorang anak yang terganggu mentalnya karena harus menerima perlakuan disodomi, terpaksa melayani perlakukan pelecehan seksual dari orang yang sebelumnya dianggap berjasa karena telah berbaik hati memberi uang jajan, mengajak jalan-jalan dan memberikan kesenangan yang memang didambakan seorang anak-anak.

Sebagaimana hasil penelitian yang diungkapkan oleh Prof. L.K. Suryani dari CASA saat workshop di Polda Bali mengenai fenomena paedofilia dan upaya penanggulangannya, seperti kasus Mario di Buleleng, kasus Tony di Karangasem dan juga kasus-kasus lain yang terungkap dari pasien-pasien paedofilia dalam praktiknya sebagai seorang psikiatri, jelas perasaan korban paedofilia menderita trauma yang sangat mendalam akibat perlakuan pelecehan seksual yang tidak sepantasnya diterima oleh anak-anak seusia dia. Rasa takut, jijik, mau muntah karena dipaksa menelan cairan sperma pelaku, suka murung, menyendiri karena merasa takut berdosa. Tampak anak tersebut pucat, sukar berkonsentrasi dan pelajarannya terganggu. Kadang anak tersebut suka marah, tersinggung tanpa sebab, bingung dan menangis sendirian dan kadang melakukan tindakan yang berulang-ulang seolah-olah membersihkan mulutnya. Perkembangannya kemudian adalah anak-anak korban sexual abuse/paedofilia ini dapat berlanjut mengalami depresi ; anak itu merasa sedih, merasa tidak berguna, merasa berdosa, putus asa dan ingin bunuh diri. Mungkin terjadi gangguan cemas yang berlebihan atau menjadi orang yang tidak peduli, tidak punya perasaan, tidak bisa mencintai orang lain, yang ada hanyalah ingin menghancurkan orang lain. Ia puas kalau dapat melukai hati laki-laki atau perempuan sebagai balas dendam yang tidak disadarinya. Kemungkinan yang terburuk adalah pelaku-pelaku paedofilia tidak lagi hanya orang asing akan tetapi bisa jugaa orang-orang dewasa di sekitar kita yang merayu anak-anak kita untuk diajak menonton video porno dan melakukan pencabulan terhadapnya berulangkali sambil melakukan pengancaman-pengancaman dan pemberian hadiah. Yang sangat berbahaya ternyata sang anak yang menjadi korban dalam proses tumbuh kembangnya selain tetap dengan rasa takut karena merasa berdosa, pemurung dan suka menyendiri tenyata juga tidak bisa mengerem rangsangan seksualnya dan mencoba mempraktikan pengalaman seksual yang diperlakukan kepadanya kepada adik dan saudara-saudara dekatnya. Dapat kita bayangkan bagaimana masa depan anak-anak kita kelak.

Terkait dengan pencanangan bahwa Bali dan Batam menjadi target bebas eksploitasi seksual komersial oleh pemerintah dan dimuatnya kasus paedofilia sebagai salah satu bentuk trafficking yang telah dirumuskan dalam draf RUU trafficking (perdagangan orang) yang kini tengah dalam proses pengesahan di DPR, maka sudah seyogianya semua jajaran Pemda Bali dan aparat penegak hukum harus sudah mempunya persepsi yang sama tentang hal tersebut. Minimal menunggu disahkannya RUU Trafficking, komitmen untuk mempergunakan UU Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2002 harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang menangani kasus ini.

Dari sisi pencegahan semua pihak tampaknya sepakat bahwa sosialisasi tentang bahayanya dampak kasus-kasus eksploitasi seksual komersial terhadap anak, termasuk paedofilia ini, perlu dikampanyekan secara meluas terutama langsung ke daerah sasaran dimana korban banyak ditemukan seperti daerah Buleleng dan Karangasem.

Peran aparatur desa, tokoh adat dan agama, pemuda-pemuda dan masyarakat harus disadarkan dengan informasi yang jelas tentang bahayanya paedofilia dan trafficking/perdagangan perempuan dan anak. Karena dari ketidaktahuan tersebut banyak memunculkan tindakan yang malah melindungi pelaku paedofilia, sehingga pelaku merasa nyaman dan aman-aman saja dalam melakukan aksinya. Apalagi orang asing tersebut begitu pintarnya tampil layaknya seorang pahlawan/penyelamatan masyarakat dari kemiskinan/keterbelakangan dan banyak memberi bantuan dalam pendidikan terhadap anak-anak yang tidak mampu sehingga betul-betul didukung oleh masyarakat disekitarnya tanpa sadar bahwa sayang terhadap anak-anak hanyalah kedok dari pelaku paedofilia.

Mungkin yang terpenting kemudian dalam advocasi dan penegakan hukum terhadap pelaku paedofilia tersebut adalah adanya persepsi yang sama antara pihak pemerintah daerah dan aparat hukumnya agar dapat bertindak dengan tegas sesuai hukum yang berlaku yaitu UU perlindungan Anak karena sangat jelas dituangkan dalam pasal 59 tentang perlindungan Khusus dalam UU No. 23 tahun 2002.

Perlindungan khusus ini diperlukan seperti dalam kasus Tony dan juga kasus-kasus anak lainnya. dalam pasal 64 ayat 2 huruf b dan e untuk kasus seperti itu sebenarnya harus dibentuk pendamping khusus pada saat proses pemeriksaan dihadapan pejabat hukum yang berwenang baik. Juga harus dilakukan pemantauan dan pencatatan secara terus-menerus terhadap perkembangan anak tersebut.

Persepsi yang sama pada pihak pemda dan aparat hukum di Bali juga dapat mengacu pada Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang ditetapkan dengan Keppres Nomor 87/2002 dan RAN tentang Penghapusan Perdagangan Terhadap Perempuan dan Anak yang ditetapkan dengan Keppres Nomor 88/2002 dalam upaya penggalangan pemerintah pusat dan daerah-daerah untuk perang terhadap trafficking dan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

Permasalahannya adalah kedua RAN diatas sama sekali belum tersosialisasikan sampai saat ini baik oleh pemrintah pusat maupun Pemda Bali karena alasannya lagi-lagi berkaitan dengan anggaran.

(Tulisan ini dimuat di Harian Bali Post tanggal 30 Maret 2004)

0 komentar:

Posting Komentar