JL. Plawa No. 57 Denpasar, Telp. (0361) 223010, Fax. (0361) 227465 Email: lbhbali@indo.net.id

Oleh Ngurah Wisnu Wardhana

‘’Buruh Pariwisata’’, semua orang akan berfikir tentang dolar dan kehidupan yang layak (mapan) pada saat mendengar dua kata tersebut. Namun pasca Tragedi Bom Kuta hal tersebut seperti hanya tinggal kenangan, seluruh insan pariwisata (terutama buruh) terpuruk. Harapan melunasi cicilan motor sirna sudah, tidak di PHK saja sudah syukur.

Ya, keberatan atau tidak Tragedi tersebut kita bisa jadikan cermin untuk bicara buruh pariwisata khususnya.

Hingga kini pasca Tragedi Kuta, persoalan Hubungan Industrial di sector pariwisata masih dalam kondisi yang belum menguntungkan bagi buruh dan pengusaha di Bali. Imbas dari dampak bom masih terasa, belum pulihnya pariwisata masih memberikan kekhawatiran terhadap keberlangsungan kehidupan bagi buruh yang menyandarkan pada skill dan tenaganya hanya untuk bekerja di sektor pariwisata. PHK massal masih menghantui para pekerja jika kondisi ini belum pulih. Seiring dengan tidak mampunya pengusaha untuk menanggung biaya operasional yang sangat tinggi maka bukan tidak mungkin PHK individual atau kolektif akan terjadi dalam hitungan waktu yang lambat atau cepat kedepan.

Membicarakan masalah buruh pariwisata (sector pariwisata) juga tidak bisa kita pisahkan dengan pembicaraan dengan masalah di sector lainnya. Dimana pariwisata sangat rentan terhadap isu dan kondisi yang sangat sensitive baik secara lokal, regional dan global. Bencana alam, wabah penyakit (kolera, sars), aksi/ isu terorisrisme, dan perang (pemilu juga) adalah keadaan buruk yang sewaktu-waktu dapat menimpa industri pariwisata. Dan kita telah mengalaminya dari beberapa hal tersebut.

Belum lagi mengenai kebijakan pemerintah yang memberikan aura negative bagi sector pariwisata diantaranya VoA (Visa on Arrival), dengan tambahan biaya dan tekhnis mekanisme birokratis (peluang pungli) tersebut jelas mengurangi mood turis untuk datang ke negara kita dalam kondisi sekarang.

Disahkannya UU PPHI (Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) juga sangat merugikan buruh termasuk buruh pariwisata. Dimana isi dari UU tersebut secara mendasar mengabaikan kepentingan buruh terhadap keberadaannya di suatu pekerjaannya, yaitu rentan PHK karena PHK menjadi wewenang mutlak pengusaha, dalam UU ini Negara melepaskan tanggung jawabnya untuk melindungi buruh/ pekerja serta lepas tangan terhadap pelanggaran hak-hak normative buruh dan serikat buruh yang dilakukan pengusaha, karena pelanggaran hak normative dalam UU ini dapat diperselisihkan, padahal seharusnya pengusaha yang melanggar hak normatif buruh/ pekerja diberi sanksi (denda dan atau penjara), tanpa harus menuntut melalui lembaga peradilan yang menjadi sentra penyelesaian perselisihan dalam UU tersebut.

Masalah perburuhan di Indonesia merupakan masalah yang sangat pelik. Ini sudah menjadi semacam benang kusut yang jika diurai satu persatu akan terlihat banyak faktor yang ada di dalamnya.

Disamping itu lapangan kerja yang sempit dengan angkatan kerja yang jumlahnya besar mengakibatkan posisi tawar buruh sangat lemah. Hal ini ditambah lagi dengan kualitas SDM (pendidikan dan skill) yang secara umum sangat terbatas. Mengakibatkan buruh menjadi semakin terpojok. Hukum perburuhan yang seharusnya mengatur hubungan industrial masih sangat lemah. Proses penegakan hukum perburuhan yang selama ini diharapkan untuk menjamin adanya kepastian hukum belum terlaksana dengan baik. Kalaupun ada pemberian sanksi bagi tindak pidana pelanggaran hukum perburuhan, itu pun sangat ringan. Selain itu kolusi antara pengusaha dengan penguasa sudah bukan menjadi rahasia lagi dan semakin memperparah kondisi perburuhan. Institusi negara yang membidangi masalah perburuhan seakan tidak berdaya menghadapi kondisi ini.

Globalisasi sudah di halaman rumah kita, dengan kondisi semacam ini mampukah tenaga kerja lokal bersaing dengan tenaga kerja asing, karena bukan hanya modal/ investor saja yang datang tapi juga tenaga kerja asing di berbagai sector.

Harapan kita semua adalah hubungan industrial harmonis maka beberapa hal pokok yang harus terpenuhi yaitu ;
  • Pekerja itu harus merasa nyaman, dan pekerja akan nyaman serta termotivasi kalau gaji cukup dan merasa terlindungi dalam bekerja dan pekerjaannya
  • Pengusaha menuntut produktivitas dari pekerja, pengusaha itu harus juga merasa nyaman kalau untung besar yang akan digunakan untuk membuka lapangan kerja baru kemudian perlu mencetak tenaga kerja baru atau paling tidak, tidak ada pengurangan pegawai
  • Pemerintah juga akan merasa senang karena akan mendapatkan pemasukan besar dari pajak
  • Masyarakat juga akan puas kalau pembangunan jalan.
Kalau hal ini terwujud maka disini akan tercipta hubungan industrial yang harmonis.


Tulisan ini dibacakan dalam acara SEMINAR dalam rangka BK XIX PS. Pariwisata, tanggal 29 April 2004 di Kampus Goris Pariwisata Universitas Udayana

0 komentar:

Posting Komentar