JL. Plawa No. 57 Denpasar, Telp. (0361) 223010, Fax. (0361) 227465 Email: lbhbali@indo.net.id

Oleh: Luh Putu Anggreni, SH

Kata Perceraian pada era sekarang ini mungkin sudah bukan dianggap momok lagi dikalangan perempuan Indonesia dan perempuan Bali khususnya. Kalau sebelumnya mendengar kata perceraian, perempuan langsung merasa kecut hatinya karena yang terbayang kemudian adalah predikat janda dengan segala cibiran dan cemoohan tetangga, sikap lingkungan masyarakat yang begitu sinis seolah-olah predikat janda merupakan suatu aib dan mengundang untuk berbuat nista, sehingga perempuan harus berpikir seribu kali untuk sampai terjadinya perceraian terkecuali memang nasibnya dia harus diceraikan suami tanpa mampu melawan takdirnya sehingga terpaksa predikat janda harus disandang. Namun sekarang ini keputusan bercerai tidak lagi dianggap sebagai hal yang menakutkan, bahkan belakangan seolah-olah menjadi trend/ gaya hidup. Dikalangan artis-artis jangan ditanya lagi, begitu mudahnya mengingkari kata-kata suci dan melupakan pesta meriah perkawinan yang menghabiskan biaya jutaan hingga milyaran rupiah hanya dalam hitungan bulan.
Di Bali, dilingkungan Pengadilan Negeri Denpasar khususnya, begitu hapalnya para lawyer kita dengan kata-kata perceraian, pembagian harta bersama atau harta gonogini dan Hak asuh terhadap anak karena sebagian besar para advokat kita ternyata sedang menangani kasus perceraian.Entah penyebabnya adanya kekerasan suami terhadap sang istri, ketidakcocokan/ pertengkaran secara terus menerus atau yang memang sekarang lagi ngetren juga yaitu karena pasangan berselingkuh alias punya PIL atau WIL.Akibatnya pasangannya menjadi marah-marah, harga diri meraca dilecehkan, suami kemudian menjadi ringan tangan alias suka memukul, menampar dan menendang karena sang istri dianggap terlalu cerewet dan terlalu turut campur urusan pekerjaan suami ,dll sehingga akhirnya perasaan cinta berubah menjadi benci setengah mati.

Belakangan juga yang banyak dianggap menjadi penyebab perceraian, terutama dikalangan pasangan suami istri yang berusia muda adalah adanya anggapan terlalu ikut campurnya pihak ketiga yang notabene adalah keluarga, ipar dan mertua.

Si istri yang masih belia dan ingin belajar mandiri menata rumah tangganya merasa terusik dan menjadi uring-uringan dan akhirnya timbul pertengkaran-pertengkaran dan sang suami yang dianggap sebagai idola dan kepala keluarga yang seharusnya mampu bersikap tegas dan mandiri ternyata begitu lemah dan merupakan “anak mama “ dirumahnya karena selalu tergantung terhadap putusan keluarga besar.Keributanpun menjadi kerap muncul sehingga akhirnya cinta yang tumbuh saat pacaran dan semestinya tetap harus dirawat saat perkawinan, menjadi pupus oleh pertengkaran-pertengkaran akibat kurangnya kedewasaan sikap dalam mengarungi bahtera perkawinan tersebut.Yang tersisa hanyalah emosi, ketidak sabaran, masalah gengsi dan harga diri, lalu menjadi alasan untuk adanya perceraian.

Permasalahan yang kemudian sangat erat dengan perceraian adalah Hak Pengasuhan Anak atau Hak Perwalian terhadap Anak.Sebagaimana ketentuan UU Perkawinan ,UU No.1 tahun 1974, bahwa kalau terjadi perselisihan tentang hak asuh anak maka akan diputuskan oleh Pengadilan.

Ternyata untuk di Bali , penerapan tentang hak asuh anak yang sering diputus oleh Pengadilan ternyata dianggap sangat tidak adil oleh kaum perempuan terutama bagi yang terikat dalam perkawinan adat hindu Bali ( data klien perempuan ke LBH Bali ).

Padahal menurut UU Perkawinan, masalah hak asuh terhadap anak terutama yang masih balita adalah diserahkan kepada ibunya karena dianggap kedekatan seorang ibu terhadap anaknya yang sudah dikandungnya selama 9 bulan dan dilahirkannya dengan perjuangan yang begitu berat, akan mempengaruhi fase tumbuh kembang sang anak kalau diputus pada usia yang masih begitu membutuhkan kasih sayang seorang ibu .Terkecuali memang ada pertimbangan-pertimbangan seperti masalah kejiwaan sang ibu yang labil yang dapat dibuktikan bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi / merusak jiwa sang anak barulah hak asuh ibu bisa dialihkan.

Permasalahan yang dianggap tidak adil adalah masalah Purusa ( Ketentuan hukum adat bali mengenai pentingnya sentana terutama laki-laki sebagai penerus keturunan dalam keluarga hindu Bali ) sering menjadi alasan atau pegangan para hakim dalam mengambil putusan terhadap hak asuh anak tersebut sehingga kemudian diserahkan hak asuhnya kepada bapaknya, walau dapat dibuktikan bahwa sang bapak ternyata merupakan penjudi berat, pemabok, malah sudah punya selingkuhan yang sebentar lagi akan dikawinin,tidak ada kepedulian akan trauma anak terhadap kekerasan yang biasanya diperlihatkan sang bapak saat memukul/ menganiaya ibunya didepan mata bocahnya yang sangat ketakutan, namun karena demi purusa akhirnya sang anak kemudian hanya menjadi anak bagi kakek nenek atau paman yang bersangkutan.

Kenapa saat itu tidak ada yang peduli terhadap apa yang dirasakan sang anak,apakah egoisme laki-laki dan masalah purusa memang lebih penting dari ketentraman jiwa seorang anak….

Apakah tidak ada penekanan pada keputusan para Hakim yang terhormat, bahwa perceraian tidaklah memutus hubungan sang anak dengan kedua orang tuanya, bahwa demi kepentingan sang anak kedua orangtuanya tetap harus berperan maksimal sesuai kemampuan tanpa memandang siapa yang mempunyai hak asuh terhadap anak yang bersangkutan.

Masalah purusa mungkin menjadi pertimbangan dalam keputusan dengan mewajibkan sang ibu selalu menghadirkan sang anak ketengah keluarga sang bapak apabila ada upacara adat yang berkaitan dengan purusa tersebut. Tentunya kedua belah pihak harus belajar berbesar hati tetap demi kepentingan sang anak tersebut. Sehingga saat sang anak sudah mulai mengerti dan memahami apa yang terjadi dia dapat memilih sendiri dengan siapa dia mempercayakan masa depannya , apakah pada sang bapak ataukah ibunya.

Adanya ketakutan/ praduga beberapa kalangan seperti masalah pewarisan pada keluarga besar yang kelak muncul apabila sang anak diasuh oleh ibunya,juga adanya ketakutan sang anak berpindah agama kalau diasuh oleh ibunya karena ibunya kembali lagi keagama semula walaupun sebelumnya sudah disudiwidani atau dihindukan memang dapat menjadi pertimbangan sendiri kenapa masalah purusa itu mesti jadi pertimbangan dalam Putusan Hakim, akan tetapi mungkin semua itu dapat dicarikan solusinya apabila semuanya melihat pada kepentingan perlindungan terhadap hak anak. Terobosan-terobosan Hakim untuk itu tentu akan sangat kita hargai demi sebuah keadilan dan keprihatinan akan generasi penerus bangsa, sehingga tidak rusak hanya karena sebuah Perceraian dengan alasan apapun itu.

Kalau Perceraian memang merupakan jalan yang terbaik kenapa anak harus menjadi korban yang keduakalinya… yang tetap harus diingat adalah Perceraian tidak memutus hubungan orangtua dengan anak!!


(Tulisan ini dimuat di Tabloid TOKOH Edisi 23 – 29 Mei 2004)

0 komentar:

Posting Komentar