JL. Plawa No. 57 Denpasar, Telp. (0361) 223010, Fax. (0361) 227465 Email: lbhbali@indo.net.id

Belajar dari Tragedi Alastlogo

Oleh Agung Dwi Astika, SH

Peristiwa penembakan warga sipil oleh aparat TNI AL di Desa Alastlogo,Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur pada hari rabu,30 Mei 2007 yang menewaskan Mistin, Utam, Kotijah dan Rohman, serta luka-luka berat yang dialami oleh delapan warga sipil lainnya menjadi catatan hitam perjalanan reformasi TNI di Indonesia. Tragedi alastlogo adalah implikasi namun hal terpenting yang mesti dilihat adalah asal mula mengapa tragedi ini harus terjadi?

Peristiwa ini dilatar belakangi oleh sengketa tanah seluas 539 hektar di sebelas desa di kecamatan lekok. Warga membutuhkan tanah sebagai lahan garapan. Tanah bagi warga adalah kehidupan karena dari tanah rantai keberlangsungan hidup mereka terus berlangsung. Namun, menjadi ironi jika tanah yang sejatinya wajib digunakan untuk kepentingan rakyat justru jadi biang konflik dengan institusi TNI AL. Disinilah letak kontradiksi tersebut. Di balik peristiwa ini rupanya ada persoalan mengenai bisnis militer, dimana lahan tersebut disewakan oleh TNI AL kepada pihak ketiga yaitu PT Rajawali Nusantara yang akan ditanami tebu. Konflik-konflik seperti ini kiranya akan berpeluang muncul mengingat bisnis-bisnis militer memang di legalkan.

Salah satu alasan klasik yang sering diucapkan petinggi militer dalam pengelolaan bisnis-bisnis militer adalah kurangnya anggaran belanja yang dialokasikan kepada mereka melalui departemen pertahanan. Kurangnya anggaran disertai dengan keinginan untuk mensejahterakan anggotanya, menyebabkan kalangan militer berusaha mencari sumber pendanaan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara. Meski telah berlangsung lama,namun tujuan untuk mensejahterahkan prajurit masih belum pernah terwujud.

Sehingga pelajaran terpenting dari tragedi alastlogo adalah bahwa yang selalu menjadi korban adalah masyarakat kecil dan prajurit berpangkat rendah.

Bisnis Militer

Sampai saat ini belum ada satu peraturan perundang-undangan apapun yang menjelaskan pengertian bisnis militer, sehingga sering menimbulkan berbagai tafsiran terhadap bentuk, kegiatan, dan aktifitas militer baik perorangan maupun institusi yang berkategori bisnis. Untuk lebih memudahkan dan mempersamakan persepsi kita tentang bisnis militer. Bisa meminjam pendapat Laksda TNI (pur) IGD Artjana dalam makalahnya yang berjudul Bisnis Militer; Tantangan dan Harapan definisi yang ditawarkan adalah sebagai berikut :

Bisnis militer adalah serangkaian kegiatan militer atau pihak lain yang mempunyai hubungan langsung yang memanfaatkan kebijaksanaan pejabat publik baik dipusat maupun didaerah, fasilitas, aset serta sarana dan prasarana militer dalam kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi maupun distribusi, pengadaan barang /jasa yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan tugas TNI yang kesemuanya di administrasikan dan diberlakukan sebagai kekayaan yang dipisahkan serta dikelola dan dipertanggungjawabkan sesuai prinsip-prinsip keuangan negara

Berdasarkan pengertian tersebut diatas maka bentuk-bentuk bisnis militer adalah :
  • Bisnis militer dalam wadah Institusional, meliputi yayasan-yayasan yang ada disetiap Angkatan dan Polri berikut sejumlah perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam holding company atau proyek terkait yang berada di luar holding company.
  • Bisnis militer dalam wadah struktural organisasi militer, meliputi sejumlah koperasi yang tersebar diberbagai satuan dan komando berikut mitra usahanya.
  • Bisnis-bisnis militer non-institusional, yaitu sejumlah perusahaan milik keluarga pejabat atau mantan pejabat TNI yang dalam melaksanakan bisnisnya memiliki hubungan emosional dan hubungan moril dengan instansi militer.
  • Bisnis militer yang dikemas dalam bentuk operasi bhakti, yaitu memanfaatkan sarana, prasarana serta personil militer dengan memperoleh imbalan yang hasilnya sebagian atau seluruhnya digunakan untuk kesiapan operasional atau kesejahteraan personil.
Tentunya apa yang diuraiakan diatas adalah bisnis-bisnis militer yang dibenarkan atau dilegalkan . Kenyataan akan belum terwujudnya kesejahteraan prajurit ini menyebabkan bannyaknya oknum-oknum militer melakukan bisnis ilegal. Berbagai konflik yang terjadi didaerah menjadi bisnis ilegal oknum militer, untuk kepentingan keamanan didaerah konflik. Oknum ini menyediakan jasa-jasa keamanan dan pengamanan. Selain bisnis keamanan bisnis lainnya dilakukan oleh oknum militer adalah ilegal loging atau penyelundupan kayu. Maka sangat dapat dipastikan ketika kegitan-kegiatan ini dilakukan maka akan terjadi benturan dengan berbagai pihak termasuk masyarakat kecil yang pasti menjadi korban.

Percepat Restrukturisasi Bisnis TNI

Berbagai fakta dilapangan menunjukan upaya –upaya untuk mensejahterakan militer melalui unit-unit usahanya baik yang legal apalagi yang ilegal ternyata justru menjauhkan militer dari profesionalisme. Militer yang profesional dibawah kontrol sipil merupakan unsur terpenting dalam sistem demokrasi. Sehingga percepatan reformasi TNI dalam transisi demokrasi di Indonesia ini adalah pekerjaan besar dan wajib diselesaikan oleh negara.

Undang-Undang No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional indonesia pasal 78 menyatakan bahwa dalam jangka waktu lima tahun semenjak berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung

Kita bisa melihat dengan adanya undang-undang ini ada keinginan yang kuat untuk melakukan upaya-upaya menuju TNI yang profesional. Memang harus dikaui upaya ini tidak mudah karena bisnis militer memiliki dampak yang sangat besar pada berbagai bidang kebijakan dalam tubuh militer.

Sebagaimana yang direkomendasikan oleh Tim Perumus Pokja Restrukturisasi bisnis militer dalam buku menuju TNI yang profesional restrukturisasi bisnis TNI diterbitkan oleh FES dan LESPERSSI Paling tidak ada 3 hal yang menjadi alasan kenapa bisnis militer harus dihentikan pertama aktivitas bisnis militer menganggu profesional dan soliditas TNI, kedua aktivitas menganggu mekanisme ekonomi pasar, ke tiga dengan bisnis militer menghasilkan profit atau dana sehingga secara independen tentara memiliki seumber dana sendiri diluar anggaran negara yang justru bisa disalahgunakan karena tidak terkontrol.

Oleh sebab itu retrukturisasi bisnis militer harus dilakukan , memang perdebatan jangka waktu retrukturisasi masih menjadi perdebatan, semakin cepat dilakukan restrukturisasi maka semakin cepat pula TNI menjadi profesional. Sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU No. 34/2004 ttg TNI; Tentara profesional diartikan adalah tentara yang terlatih, terdidik diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang diratifikasi.

(Tulisan dimuat di Harian Koran Bali, 7 Juni 2007)

0 komentar:

Posting Komentar