JL. Plawa No. 57 Denpasar, Telp. (0361) 223010, Fax. (0361) 227465 Email: lbhbali@indo.net.id

Oleh : Agung DwiI Astika, SH

“Kita tak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh, anak dan melukai martabat manusia.Kita tak mau jadi negara yang hanya berpikir untuk menaikan pendapatan,kita mesti jadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat” (Hugo Chaves, Presiden Venezuela)

Pengantar
Pemerintah boleh saja secara terbuka mengatakan bahwa negara ini mengalami kemajuan dalam dunia investasi. dengan disahkannya UU Penanaman Modal Asing (UU PMA), yang konon dampaknya akan mensejahterakan rakyat. Apa ia ?

Justru klaim negara ini akan runtuh. bila kita periksa UU PMA/Investasi, yang justru hanya memberikan kesempatan pada Pelaku pasar/investor/pengusaha untuk “berusaha” yang seluas-luasnya. Kesempatan “berusaha” yang luas ini tentunya mengancam budaya lokal bila diterjemahkan salah oleh pengusaha apa lagi belum terbentuk peraturan pelaksanaannya.Ini Bukti bahwa negara masih berpihak pada pengusaha/pemodal dengan memeberikan fasilitas-fasilitas “kemewahan” yang kesekian kali setelah sebelumnya disahkannya tiga (3) paket UU Ketenagakerjaan/Perburuhan (UU.No 21/2000 tentang serikat buruh/serikat pekerja, UU.No 13/2003 ttg ketenagakerjaan, dan UU.No. 2/2004 ttg PPHI).

Apa yang dirasakan sebagai privelege pengusaha ini justru bertolak belakang dengan apa yang dirasakan oleh buruh/pekerja. Dimana diterbitkannya regulasi-regulasi ini telah menghilangkan sebuah “kepastian” terhadap kaum buruh/pekerja. Harusnya pemerintah berhati-hati dengan dalih dari pengusaha : “...bahwa pengusaha itu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat mempekerjakan buruh dan mengurangi angka pengangguran”. Dalih ini perlu disikapi sebagai alasan pengusaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah/negara, justru harus diingat sudah merupakan konsekuensi logis ketika orang ingin mendapat keuntungan/laba besar dengan membuat sebuah usaha maka ia harus mempekerjakan orang-orang atau buruh. Untuk mendapatkan keuntungannya maka pengeluaran harus ditekan semaksimal mungkin termasuk menekan buruh.

Bagaimana dengan kondisi buruh di Bali?
Kondisi buruh Indonesia tahun 2007 ini sangat suramnya dan memperihatinkan . Tingginya angka pencari kerja, membumbungnya angka pengangguran, maraknya PHK, minimnya jaminan sosial terhadap tenaga kerja baik pekerja tetap maupun pekerja kontrak merupakan beberapa fakta yang telah mewarnai kehidupan buruh tahun 2007

Kondisi ini dirasakan juga dalam dunia perburuhan di Bali, banyak faktor penyebab untuk itu Pertama, belum meningkatnya angka kunjungan wisatawan. Kedua, kalah bersaingnya buruh/pekerja domestik dengan buruh/pekerja asingnya. Ketiga, belum konsistennya negara menjalankan tiga paket UU ketenagakerjaan yaitu:UU.No 21/2000 tentang serikat buruh/serikat pekerja, UU.No 13/2003 tentang ketenagakerjaan, dan UU.No. 2/2004 tentang PPHI. Keempat, belum solid-nya buruh/pekerja dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Kelima,semakin hegemoniknya pasar (pelaku usaha/investor) dalam mempengaruhi hidup bersama (UU PMA).

Harus diakui bahwa industri pariwisata masih menjadi tulang punggung Bali. Hotel, restaurant, travel, cargo, jasa, niaga, hiburan, handycraft, garment serta niaga menjadi simpul industri dan menjadi pemasok tenaga kerja terbesar. Sehingga buruh/pekerja di sektor-sektor vital ini menjadi korban paling pertama ketika terjadi peristiwa bom Bali I dan II beberapa tahun lalu. Hingga kini pemulihannyapun masih membutuhkan jangka waktu yang panjang. Hal ini terjadi secara menyeluruh dari Kabupaten Jembrana, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Badung hingga Kotamadya Denpasar.

Dampak penting dari keterpurukan kesejahteraan buruh/pekerja telah menyebabkan:
Pertama, rendahnya upah minimum propinsi/kota/kabupaten yang tak memenuhi standar kebutuhan hidup layak seperti yang tertuang dalam Permenakertrans, No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL).

Kedua, berkurangnya hak-hak yang diterima buruh/pekerja juga jaminan atas pekerjaan akibat trend perubahan status dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak (out sourching).

Ketiga,perpindahan kepemilikan beberapa perusahaan di Bali yang praktis akan meminimalisir buruh/pekerja yang dipandang tak profesional dan berkompeten.

Keempat,menguatnya arus gejala kriminalisasi buruh/pekerja, dimana masalah buruh/pekerja dalam perusahan di larikan ke hukum pidana meniadakan paket UU tentang perburuhan.

Data dinas tenaga kerja Propinsi Bali tahun 2004; menyebutkan jumlah pengangguran di Bali, mencapai 89.890 orang. Di bulan November tahun 2005 tingkat rata-rata pencari kerja sebanyak 29.555 orang, sementara lowongan kerja yang tersedia hanya 250 buah. Bisa dikatakan akibat tingginya biaya hidup jumlah pencari pekerja meningkat tajam. Tetapi ironinya tak diimbangi oleh jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia. Di bulan Agustus 2006 terdapat 208.567 orang buruh/pekerja yang tertampung di 5.083 buah perusahan (kecil, menengah dan besar). Selain itu jumlah PHK atau “terpaksa” melakukan PHK secara massal signifikant ! Seperti yang menimpa 214 buruh/pekerja Hotel Bali Cliff, 26 buruh/pekerja Hotel Oval Legian, 36 buruh/pekerja Hotel Bali Sani dan 50 buruh/pekerja Villa Rumah Manis. Belum terhitung yang di PHK secara personal.

Pelanggaran Hak Buruh adalah Pelanggaran HAM

Pemerintah RI selalu mengatakan bahwa negara ini telah mengalami kemajuan dalam upaya penegakkan HAM. Konon, hal ini dibuktikan dengan diratifikasinya kovenan hak sipil-politik (sipol) dan kovenan hak ekonomi, sosial, budaya (ecosob) pada tahun 2004. Dua (2) kovenan ini resmi diakui dalam khasanah hukum positif RI. Dua kovenan ini juga merupakan kovenan yang paling diakui ke-“universalan”-nya di kancah pergaulan negara-negara dunia. Namun, bagaimana dengan prakteknya

Dalam kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya diatur dengan tegas Mengenai hak-hak buruh dalam pasal 6 sampai dengan pasal 9 Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya yang intinya menyatakan bahwa :
Pasal 6 tentang bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mencari nafkah dengan bebas berdasarkan keinginannya. Pasal 7 tentang syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan. Pasal 8 mengatur tentang bahwa negara wajib mengakui hak-hak setiap orang untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja. Dan pasal 9 bahwa negara mengatur tentang keharusan mengakui hak jaminan sosial pada setiap orang. Dengan demikian sangat jelas bahwa negara wajib melindungi, menghormati dan melakukan pemenuhan terhadap hak-hak setiap orang dalam masalah perburuhan.

Pelanggaran HAM justru terjadi ketika negara mengabaikan kewajibannya terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sejauh ini belum terlihat negara berpihak kepada kepentingan kaum buruh, tiga paket UU perburuhan yakni UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan dan UU No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 3 paket UU tenaga kerja ini justru lahir dari kesepakatan pemerintah RI dengan IMF .

Pada tanggal 15 Januari 1998, IMF (International Monetery Fund) mendesak pemerintah RI untuk menandatangani Nota Kesepahaman (Letter of Intent) tentang kebijakan sektor perburuhan. Sehingga, tak bisa dipungkiri 3 paket UU tersebut merupakan kesepakatan RI dengan kapitalisme global. Usulan IMF adalah penataan ulang sistem, prosedur, privatisasi ketenagakerjaan dan penyediaan lahan baru untuk industrialisasi.

Rekomendasi
Untuk mewujudkan kesejahteraan buruh/pekerja maka hal yang mesti dilakukan yaitu:
Pertama, melakukan kerja-kerja penguatan pengetahuan dan ketrampilan dari buruh/pekerja dan atau pengurus buruh/pekerja tentang mekanisme yang diatur dalam 3 paket UU Ketenagakerjaan.Dimana juga memberikan ruang bagi semua pihak (LSM,Mahasiswa,Petani Dsb-nya) untuk intens melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap tata kelola dari politik ketenagakerjaan/perburuhan.

Kedua, melakukan kontrol demokrasi terhadap pelaku pasar (investor,dll).Sebab salah satu akar dari permasalahan utama dari Republik ini adalah tak dikenanya kontrol demokrasi yang ketat dalam semangat HAM terhadap pelaku pasar. Pelaku pasar selalu saja ber-alibi bahwa urusan mereka adalah urusan privat, namun ironinya urusan yang mereka katakan sebagai privat telah berdampak urusan hidup bersama.

Ketiga, salah satu peran strategis pemerintah adalah menjamin hak-hak dasar buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang lain yang sah. Sehingga pemerintah diminta untuk konsisten menerapkan Permenakertrans, No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai pengganti Kepmen yang lama baru di tetapkan tanggal 26 Agustus 2005.Meski masih mengandung banyak kelemahan namun Kepmen yang baru ini lebih detail mengklasifikasikan kebutuhan hidup buruh/pekerja.

Keempat, Pemerintah harus berani melakukan perubahan paradigma politik pengupahan dengan cara:

1) melalui perundingan bersama di tingkat perusahan. Pendekatan ini sebaiknya diberlakukan untuk buruh/pekerja yang sudah menjadi anggota serikat buruh tingkat perusahan. Juga diberlakukan bagi kelompok-kelompok usaha yang beroperasi di tingkat daerah maupun di tingkat nasional (seperti industri perbankan nasional, kelompok-kelompok usaha yang berada di bawah naungan satu atap, dan lain-lain). Hal ini melalui mekanisme perundingan bipartit secara langsung antara serikat buruh di perusahan dengan pengusaha untuk menentukan tingkat upah.

2) penetapan upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman sosial (upah terendah untuk bertahan hidup) untuk melindungi buruh yang upahnya paling rendah, bukan untuk menggantikan negosiasi upah antara serikat pekerja/buruh dan pengusaha. Hal ini dilakukan melalui dewan pengupahan nasional. Dimana sebaiknya diberlakukan bagi buruh yang belum menjadi anggota serikat buruh/pekerja. Juga bagi buruh yang bekerja di sektor informal dimana buruh yang bekerja sebagai buruh paruh waktu (part-timers), pembantu rumah tangga, atau yang diperkerjakan di suatu perusahan yang mempekerjakan karyawan kurang dari 10 orang atau yang bekerja dengan perusahan yang tidak termasuk dalam sektor in-formal.

Epilog
Kiranya ini yang bisa kami sajikan sebagai sebuah renungan dalam memperingati hari buruh tahun 2007 ini, hak tidak di beri tapi harus direbut.
Selamat hari buruh, Buruh bersatu tak bisa dikalahkan

(Tulisan ini dimuat di harian Koran Bali tanggal 1 Mei 2007)

0 komentar:

Posting Komentar